Wednesday, December 24, 2014

Wanita di Bulan Juni


Aku mencintai seorang wanita yang sedang dirundung sepi. Wajahnya yang muram menyiratkan kehidupannya yang kelam. Wanita itu pencinta puisi dan pengagum Sapardi. Dari bibirnya yang mungil akan selalu mengalun lagu-lagu dari puisi Sapardi, terutama Hujan Bulan Juni.

Dari sudut sini, aku suka memandangi wanita yang setiap hari memakai terusan berwarna putih itu. Rambut sebahunya bergelombang dan kedua matanya seakan memancarkan cahaya kebahagiaan bagi siapa saja yang melihatnya. Di tangan kanannya selalu tergenggam bolpoin dan di mejanya selalu terdapat kertas-kertas yang berserakan. Aku dapat bertaruh bahwa itu adalah puisi. Entah puisi karyanya ataupun puisi karya Sapardi.

Sejak kali pertama aku datang ke sini, wanita itu telah merebut seluruh perhatianku. Maka, aku bertanya pada salah satu pelayan mengenai nama wanita tersebut. Sayangnya, sang pelayan pun tak dapat memberiku informasi yang cukup mengenai wanita itu.

“Ia hanya bilang, ‘aku wanita tanpa nama’,”                          
                                               
Misterius sekali kau, wanita pengagum Sapardi. Makin tertambatlah hatiku ketika tahu kau baru muncul di kafe ini sejak awal bulan Juni. Inginkah kau menjadi objek dalam puisi Sapardi?

***

Kudorong pintu kafe sehingga bunyi ‘cring’ dapat terdengar. Aku menjadi pelanggan setia kafe ini hanya untuk dapat melihat sang wanita. Di luar hujan. Persis seperti puisi Sapardi. Kukibaskan bias-bias air yang terdapat di lengan kemejaku. Lalu aku memandang ke arah wanita itu.

Ia memejamkan kedua matanya namun mulutnya mendendangkan puisi Hujan Bulan Juni. Seperti biasa. Ekspresinya tampak damai walaupun matanya tak terbuka. Aku, entah mengapa, tersenyum dibuatnya.

Oh, wanita pecinta puisi dan pengagum Sapardi, ingin rasanya aku bercengkerama denganmu. Menghabiskan waktu di tengah hujan yang mengguyur sore hari pada pertengahan bulan Juni. Ingin aku menjadi tempat tumpahan cerita-ceritamu. Kau pasti punya banyak cerita. Atau, setidaknya punya banyak puisi. Tapi aku tahu, kau tak begitu suka berbagi. Maka, aku rela hanya dapat memandangi.

***

Ada yang berbeda dari sore ini. Wanita itu tak menggumamkan lagu Hujan Bulan Juni, apalagi sampai mendendangkannya dengan jelas. Mulutnya tertutup rapat seperti ada sesuatu yang menghalanginya. Aku memandang ke luar jendela. Apakah karena bulan Juni ini tak menurunkan hujannya?

Wanita itu mendiamkan secangkir kopi susu di atas meja yang terhidang spesial untuknya karena ia salah satu pelanggan setia kafe ini. Wanita itu tak menghiraukan keadaan sekitar. Beberapa pelayan yang kenal dekat dengannya mengkhawatirkan sikap diamnya. Begitu pula denganku. Maka, kukerahkan seluruh keberanianku untuk menghampirinya dan sekadar menyapanya.

“Selamat sore,”                                
  
Ia hanya memandang wajahku tanpa ekspresi dan perkataan apa pun. Aku dibuatnya salah tingkah. Kedua bola matanya yang seperti mata boneka itu mengunci mataku.

“Tidakkah kau tahu bahwa orang-orang di sekitar sini mengkhawatirkanmu; wanita pencinta puisi, Sapardi, dan sepi?”

“Maukah kau mencurahkan padaku apa yang membuat hatimu resah dan gundah?” Tanyaku sekali lagi.

“Kali ini, Juni tak menumpahkan hujannya. Aku merindukan Sapardi,”

Aku mengerutkan kening. Tak sepenuhnya mengerti dengan apa yang ia katakan.

“Siapa itu Sapardi?” Tanyaku. Bahkan sesungguhnya aku tak mengerti apa maksud pertanyaanku barusan. Tentu saja Sapardi itu seorang penyair hebat, Bodoh!

“Masa laluku,” jawabnya pelan sambil memejamkan mata dan menghirup udara dengan lembut.

Aku semakin tak mengerti dengan wanita ini. Katanya, Sapardi adalah masa lalunya? Apakah ia hanya berkhayal? Atau sekadar bergurau? Atau saking kagumnya ia pada Sapardi maka ia membayangkan bahwa ia adalah bagian dari masa lalu Sapardi, atau Sapardi adalah bagian dari masa lalunya?

“Sapardi membuatkanku puisi. Hujan Bulan Juni. Puisi tersebut sangat indah dan menggugah. Sayang…”

“Sayang kenapa?” Tanyaku. Dan aku merutuki sikapku yang terkesan sangat ingin tahu urusan orang.
Wanita itu menggeleng. “Tidak apa-apa,”

Diam kembali menyelimuti kami. Seorang pria yang jatuh cinta pada seorang wanita yang bahkan tak dapat kupahami jalan pikirannya.

“Maaf, bisakah kau tinggalkan aku sendiri? Aku penyuka sepi,”

Kumaklumi keadaannya dan segera kutinggalkan ia tanpa pamit. Namun sembari berjalan menjauhinya, kupungut serpihan-serpihan hatiku yang berserakan.

***


Desas-desus para pelayan kafe seakan membangunkanku dari sebuah mimpi yang tak jelas arahnya. Wanita pencinta puisi, Sapardi, dan sepi itu ditemukan mati di dalam kamar mandi kafe pada akhir bulan Juni sembari memeluk buku Malam Wabah dan Pada Suatu Hari Nanti.

No comments:

Post a Comment