Friday, January 20, 2017

Kenangan Bersama Pasar Senen


Awalnya, sebagai seorang yang sejak lahir hingga SMA (pas TK nggak, sih...) mendekam di Tangerang ditambah sifatku yang 'anak rumahan' membuatku berpikir ketika mendengar nama Pasar Senen adalah suatu tempat yang jauh, butuh berganti-ganti angkutan untuk sampai ke sana (padahal dari Tangerang ada bus 106 :p), dan aku hanya bisa ke sana bersama orang tua. Pasar Senen adalah tempat yang sering disebut-sebut orang lain, majalah, televisi, tentang bagaimana hebatnya tempat yang sudah lama berdiri itu menjadi surganya para pencari barang second yang tentunya sangat murah namun masih terlihat bagus.


Aku sendiri tertarik dengan Pasar Senen karena tempat itu adalah surga buku, katanya. Aku dulu selalu memimpi-mimpikan pergi ke Pasar Senen tanpa ditemani orang lain (karena aku merasa kalau aku melihat-lihat buku dalam jangka waktu yang lama dengan membawa orang lain yang bukan pencinta buku juga, itu akan sangat membosankan bagi mereka).

Hingga akhirnya, aku diterima di Universitas Negeri Jakarta (kampus impian! Aku juga nggak tahu kenapa. Semacam cinta tanpa membutuhkan alasan. Semacam rasa cinta yang walaupun kamu sudah menemukan keburukan-keburukan yang amat sangat, tapi tetap cinta :p) dan aku mengajak dua orang temanku pergi ke sana. Mereka tidak suka buku, tapi mereka laki-laki (dulu aku pikir, laki-laki pasti lebih tahu banyak hal daripada perempuan. Termasuk rute Pasar Senen :D) dan mereka juga diterima di kampus yang sama denganku (waktu itu verifikasi SNMPTN). Sayangnya, mereka juga belum hapal sekali titik-titik toko buku di Pasar Senen. Kami akhirnya berjalan-jalan di dalam pasar yang menjajakan baju, tas, dan sepatu. Untungnya, ketika kembali lagi ke lantai paling bawah, kami ketemu 'surga buku'. Ternyata letaknya di Terminal Senen.

Sejak tahu Terminal Senen, aku jadi sering ke sana bersama teman-teman sekelasku (yang baru :p). Aku suka mengajak mereka, karena kami belajar Sastra Indonesia, yang mengharuskan kami membeli banyak buku. Sebenarnya, mungkin hanya aku yang paling excited, tapi kan mereka beli juga karena untuk tugas :D. Kemudian, aku baru tahu kalau buku-buku yang dijual di sana palsu, bajakan, or apalah you named it. Aku sedih. Aku beli Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer masa ditulisnya Tour -_-. Aku beli Dunia Sophie-nya Jostein Gaarder masa ada beberapa halaman yang hilang. Aku beli Serial Supernova (1, 3, dan 4) Dee Lestari ternyata tinggi bukunya tidak sama. Maaf ya, penulis-penulis favoritku. Aku sempat membeli buku kalian versi bajakannya. Sejak tahu cara membedakan mana buku palsu dan buku asli, aku nggak mau beli buku palsu lagi, kok.


Walaupun buku palsu merajai Terminal Senen, tapi kalau pintar memilih, kita akan mendapatkan buku asli juga. Ibaratnya memang 1:100. Aku dapat Pada Sebuah Kapal-nya NH Dini yang bekas, sampulnya sudah rusak, kertasnya sudah menguning dimakan usia, tapi yang penting asli! Aku juga dapat Jane Eyre-nya Charlotte Bronte yang asli!

Karena aku sudah mulai kehilangan hasrat berbelanja buku di Terminal Senen, aku jadi jarang menginjakkan kaki ke Senen lagi. Hingga suatu ketika, Mama membawakanku banyaaaaak sekali tas-tas yang masih bagus untuk kujual di Pasar Senen. Aku ini pemalu, penakut, tapi penuh rasa ingin tahu juga walau tidak suka tantangan. Akhirnya, dengan mengumpulkan tekad dan keberanian yang penuh, aku berjalan dari Halte Busway Senen dan itu menurutku lumayan menguras keringat. Apalagi di tengah hari bolong. Waktu itu hari Minggu. Aku ke sana karena sekalian balik ke kost (semester 1 aku nge-kost). Hari Minggu, Pasar Senen dipadati pengunjung dan penjual. Benar-benar padat. Ada yang menjual celana jeans, sepatu, bahkan pakaian dalam!

Akhirnya aku memasang muka memelas kepada salah satu ibu-ibu yang menjaga kios jeans di pinggir jalan yang penuh debu. Aku bilang, "Bu, saya mau jual tas-tas ini. Masih bagus, kok. Boleh nggak, saya numpang jualan di sini?" Ibu itu jawab, "Waah..maaf Dik. Kami juga belum laku-laku ini dari pagi. Susah ini, mah.." Akhirnya aku pasrah, "Oh gitu... Makasih ya, Bu.

Lalu aku berjalan lagi. Penolakan pertama membuatku down. Aku memang termasuk orang yang gampang down. Aku bertemu dengan seorang bapak-bapak yang menjaga kios tas. Aku pikir, mungkin aku akan diterima karena barang yang kami jual sama. Namun Bapak itu menolak juga. Malah, katanya tas-tas yang ia jual lebih bagus daripada yang kubawa. Aku tambah sedih. Kemudian, ada ibu-ibu menghampiriku. Mungkin ia kasihan melihat mukaku yang murung. Katanya, "Jualan tas ya Dik?" "Iya, Bu. Ibu mau lihat? Masih baru semua, kok. Cuma nggak diplastikin aja." Aku sebisa mungkin mempromosikan barang daganganku. Ia melihat-lihat lumayan lama, akhirnya ia membeli tote bag Victoria Secret dengan harga 20 ribu. Pada saat itu aku pikir, tak apa-apa, daripada tidak ada hasil sama sekali.


Kemudian aku berjalan lagi. Penjaja es teh manis membuat liurku menetes (bukan dalam arti yang sebenarnya) dan keringatku makin bercucuran di dahi dan punggung. Ditambah, bawaanku itu cukup besar dan berat karena menampung banyak tas.

Aku menghampiri para penjual tas lagi, akhirnya. Mereka bertiga laki-laki, masih muda. Mungkin mayoritas wanita akan takut berdekatan dengan mereka. Takut digodain, takut diapa-apain. Tapi waktu itu aku clueless. Aku memasang muka melas lagi dan menjelaskan apa maksudku. Awalnya mereka bilang, mereka pun susah. Tapi akhirnya mereka mau menerimaku! Tak ada yang lebih membahagiakan lagi! Aku pun menggelar barang daganganku di tempat mereka. Mencoba mempromosikan barang-barangku. Tapi aku pemalu, aku tak bisa membujuk. Aku kurang lihai jadi pedagang. Mereka bertiga lah yang mempromosikan barang daganganku dengan setulus hati. Aku sebenarnya terharu. Tapi aku sangsi juga, soalnya mereka memang usil. Suka goda-godain gitu, walau masih dalam tahap wajar. Belum nyentuh dan godainnya nggak menjurus. Lagipula aku pakai masker, jadi mereka nggak tahu muka asli aku seperti apa. Masker memang andalanku kalau aku merasa takut di suatu tempat.

Berkat mereka bertiga, tas-tasku ludes! Benar-benar terjual habis! Mereka lah penolongku. Tanpa mereka, aku akan balik ke kost membawa barang-barang berat itu lagi. Aku terharu, padahal mereka juga butuh pemasukan, mereka tidak mengenalku, tapi mereka malah membantuku menjual barang-barangku. Dan asal kalian tahu saja, mereka tidak meminta komisi sepeser pun! Semua barangku yang terjual hasilnya untukku seorang. Mungkin 200 atau 250 ribu, aku agak lupa. Tapi aku tak akan lupa pada jasa mereka. Semoga dosa-dosa mereka diampuni dan rezeki mereka ditambah jauh lebih banyak oleh Allah SWT.

Di Metromini 47 menuju kost, aku meneteskan air mata (bahkan saat menulis ini juga. Cengeng kan, aku?). Begitu banyak pelajaran berharga yang aku ambil hari itu. Tepat pukul 12.00 siang saat matahari terik, hingga pukul 15.00 sore namun masih terasa panas, aku menghabiskan waktu dengan berjualan di Pasar Senen. Aku yang tadinya tidak tahu apa-apa, menjadi tahu bahwa dalam hidup semuanya butuh pengorbanan. Mencari uang adalah hal yang sulit. Mungkin Mama ingin aku tahu akan hal itu, selain ingin agar anaknya memiliki uang tambahan. 


Kemarin, Pasar Senen mengalami kebakaran hebat. Seharian api belum juga padam. Aku heran mengapa api seakan tak ingin melenyapkan dirinya dari Pasar Senen. Kenanganku bersama Pasar Senen adalah kenangan yang berharga dan tak akan pernah kulupakan seumur hidupku. Ketika Pasar Senen terbakar, aku merasa sebagian hatiku juga terbakar. Aku tahu bagaimana perasaan para pedagangnya saat ini dan aku ikut merasakannya juga. 

1 comment:

  1. Jadi inget dulu juga sering ke pasar Senen nyari buku bekas.

    ReplyDelete